mediarakyatpost.com, – Studi yang dilakukan SETARA Institute mencatat Depok dan Cilegon menjadi dua kota dengan skor toleransi paling rendah dari 94 kota yang menjadi objek kajian.
Berdasarkan laporan indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang dirilis pada Selasa (30/1), Depok ada di peringkat 94 dengan skor 4,010. Di atasnya Cilegon dengan skor 4,193.
Pada IKT 2022, Cilegon berada di posisi paling bawah, kemudian disusul Depok.
Sementara 10 besar kota dengan skor toleransi terendah setelah Depok dan Cilegon pada 2023, berturut-turut adalah
Banda Aceh dengan skor 4,260, Padang dengan skor 4,297 Lhokseumawe skor dengan 4,377.
Kemudian Mataram dengan skor 4,387; Pekanbaru dengan skor 4,420; Palembang dengan skor 4,433; Bandar Lampung dengan skor 4,450 dan Sabang dengan skor 4,457.
Berdasar keterangan tertulis dari SETARA, dijelaskan ada temuan positif dari kota-kota pada peringkat 10 terbawah tersebut.
SETARA mencatat kota-kota itu telah melakukan berbagai upaya untuk membenahi diri, mulai membangun ekosistem toleransi terutama melalui perluasan partisipasi dan peran yang diambil elemen masyarakat.
Hal tersebut terpotret melalui temuan rata-rata skor pada 10 kota terbawah yang mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Pada IKT 2022, zona 10 kota terendah berada pada rata-rata skor 4,17. Skor tersebut naik pada IKT 2023 menjadi 4,33.
“Dengan kata lain, meskipun masih berada di papan bawah, kota-kota tersebut mulai berbenah,” dikutip dari keterangan tertulis SETARA.
Menurut SETARA, 10 kota dengan skor terendah itu hingga saat ini masih menghadapi tantangan pada aspek kepemimpinan politik dan kepemimpinan birokrasi yang kurang kondusif dalam pemajuan toleransi, sekalipun kepemimpinan sosial toleransi mulai tumbuh.
Dua hal itu mewujud pada masih menguatnya favoritisme atas kelompok sosial keagamaan tertentu dan formalisme keberagamaan yang digagas dan diinstitusionalisasi ke dalam tubuh kota melalui peraturan-peraturan yang berbasis agama.
“Aneka produk hukum berbasis agama tentu telah dan terus berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif,” tulis SETARA.
Secara total, objek kajian Indeks Kota Toleran (IKT) adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia.
Empat kota yang dieliminasi merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi 1, kota DKI Jakarta.
Penggabungan dilakukan karena secara administratif dan legal, kota-kota tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan, sehingga dinilai tidak valid untuk dinilai secara terpisah.
Studi IKT menetapkan empat variabel dengan delapan indikator sebagai alat ukur.
Pertama, regulasi pemerintah kota. Indikatornya adalah rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya serta ada tidaknya kebijakan diskriminatif.
Kedua, regulasi sosial. Indikatornya adalah peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil terkait isu toleransi.
Ketiga, tindakan pemerintah. Indikatornya adalah pernyataan pejabat kunci tentang isu toleransi dan tindakan nyata terkait isu toleransi.
Keempat, demografi sosio-keagamaan. Indikatornya adalah heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.
Sumber data penelitian diperoleh dari dokumen resmi pemerintah kota, data Badan Pusat Statistik (BPS), data Komnas Perempuan, data SETARA Institute, dan referensi media terpilih.
Pengumpulan data juga dilakukan melalui kuesioner self- assessment kepada seluruh pemerintah kota.
Dengan mempertimbangkan perbedaan tingkat pengaruh masing-masing indikator pada situasi faktual toleransi di setiap kota, SETARA Institute melakukan pembobotan dengan persentase berbeda pada setiap indikator.
GDP
Kontributor Jawa barat