Penulis : Faizuddin FM (Ketua PAC PERGUNU Kecamatan Tembelang)
Jombang, mediarakyatpost – Satu sosok inspiratif bukan hanya Indonesia tapi juga dunia yang dapat kita jadikan teladan, sebagai santri sekaligus seorang kiyai besar adalah KH. Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur. Istilah “Gus” di sini sudah menandakan bahwa beliau adalah putra Kiyai, tidak tanggung-tanggung, beliau adalah cucu dari Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Menurut Gus Dur, makna santri tidak hanya terbatas pada mereka yang mondok di pesantren, tetapi lebih kepada siapapun yang memiliki akhlak mulia seperti santri dan memiliki komitmen untuk memperdalam ilmu agama serta meneruskan ajaran ulama. Ia memandang santri sebagai orang yang berani mengambil lompatan pemikiran filosofis dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai universal dari Al-Qur’an dan Hadis, yang diwujudkan melalui kajian mendalam terhadap kitab kuning.
Berkomitmen pada kebenaran: Secara etimologis, kata “shastri” (yang kemudian diadopsi menjadi santri) berarti orang yang menguasai kitab suci. Ini menegaskan bahwa santri adalah orang yang mempelajari dan mendalami ajaran agama secara mendalam.
Nah, sekarang mari kita belajar mengambil hikmah dari kenapa yang ditetapkan Hari Santri bukan Hari Kiyai, sementara yang memproklamirkan resolusi jihad adalah Mbah Kiyai Hasyim Asy’ari, beliau juga Kiyainya Kiyai, Hadratus Syekh Muasis Pondok Tebuireng, Muasis Jam’iyah Nahdlatul Ulama, namun kenapa kok bukan Hari Kiyai ? padahal roh dilahirkannya Hari Santri karena semangat resolusi jihad yang terjadi pada tanggal 22 Oktober yang semestinya harus kita peringati adalah siapa pembangkit dan yang menggelorakan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan pada waktu itu, tapi yang muncul justru Hari Santri.
Ini menunjukkan bahwaaannya setiap Kiyai itu pasti pernah nyantri dan menjadi santri Kiyainya ketika masih mondok di pondok pesantren, yang pasti disebut sebagai Hari Santri menunjukkan bahwasanya seorang Kiyai pun juga adalah sebagai santri, sejarah bagaimana Mbah Hasyim Asy’ari mondok di Pondok Bangkalan asuhan daripada Kiyai Khalil Bangkalan, bertahun-tahun beliau mondok disana, setelah beliau mondok dibangkanlan kemudian pulang mendirikan Pondok Tebuireng, dalam sejarah nya Kiyai Khalil Bangkalan juga pernah mengaji di depan Kiyai Hasyim Asy’ari, bahkan Kiyai Hasyim Asy’ari kaget dan bertanya “Kiyai panjenengan adalah Guru saya, kenapa saat ini panjenengan justru mengaji kepada saya” dijawab oleh Kiyai Khalil Bangkalan “yang dulu ya sudah berlalu, kamu dulu mondok ditempat saya, saat ini saya ingin belajar kepada kamu saling mencari ilmu, saling memperbanyak guru antara satu Kiyai dengan Kiyai yang satunya”
Kiyai Haji Abdul Karim Muasis Pondok Pesantren Lirboyo adalah senior Mbah Hasyim Asy’ari sebagai santri saat di Pondok Bangkalan asuhan Kiyai Haji Khalil Bangkalan, Kiyai Haji Abdul Karim dalam sejarahnya juga pernah mengaji di depan Mbah Kiyai Hasyim Asy’ari, Kiyai Hasyim Asy’ari ketika ada masalah-masalah Nahwiyah dan Sorfiyah beliau tanyanya kepada Kiyai Haji Abdul Karim, nah ini adalah tradisi ulama Kiya zaman dulu yaitu memberbanyak guru, memperbanyak sanad, tidak ada rasa gengsi tidak ada rasa takabbur di dalam hati beliau-beliau ketika berbicara Maslah ilmu.
Hikmah yang harus kita teladani dari Kiyai-kiyai terdahulu dan terapkan di zaman sekarang adalah 1. Memperbanyak Guru 2. Memperbanyak Sanad 3. Tidak ada Rasa Gengsi 4. Tidak ada Rasa Takabbur.
Dengan adanya Hari Santri diharapkan semangat para santri-santri untuk selalu mengaji dan memperbanyak ilmu dan sanad termotivasi.