JOMBANG, mediarakyatpost – Polemik mencuat di kalangan wali murid SMP Negeri 6 Jombang setelah muncul dugaan adanya ketidaksesuaian harga pembelian seragam siswa baru dengan brosur penawaran resmi dari pihak konveksi. Harga yang diterapkan kepada wali murid dinilai terlalu mahal dan tidak sebanding dengan harga dasar yang tercantum dalam surat penawaran resmi dari penyedia bahan seragam.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, harga seragam yang dijual kepada siswa baru melalui komite mencapai angka cukup tinggi. Untuk seragam batik dipatok Rp290.000 per stel, seragam pramuka juga Rp290.000 per stel, sedangkan atribut siswa putra dijual Rp150.000 dan atribut putri Rp205.000. Harga tersebut dirasa janggal oleh sejumlah orang tua karena selisihnya cukup jauh dibandingkan dengan penawaran konveksi resmi.
Dalam dokumen penawaran dari Sidodadi Textile Surabaya tertanggal 10 Juni 2025, harga bahan dan pembuatan seragam untuk sekolah-sekolah negeri di Jombang tercatat jauh lebih rendah. Berdasarkan surat tersebut, seragam pramuka standar hanya Rp147.840 per stel, dan seragam batik sekitar Rp197.670 per stel. Artinya, terdapat selisih lebih dari Rp100.000 antara harga penawaran dari pihak konveksi dengan harga jual kepada wali murid.
Perbedaan harga inilah yang kemudian memunculkan kecurigaan di kalangan wali murid terhadap mekanisme penentuan harga. “Kami tidak mempermasalahkan pembelian seragam di sekolah, karena itu memang untuk keseragaman. Tapi kalau harga jauh lebih mahal dari penawaran resmi, kami merasa perlu kejelasan. Jangan sampai ada pihak yang mengambil keuntungan terlalu besar dari orang tua,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebut namanya, Selasa (8/10/2025).
Jumlah siswa baru di SMP Negeri 6 Jombang tercatat sebanyak 224 murid kelas VII. Jika dihitung secara sederhana, selisih harga sekitar Rp100.000 per stel seragam saja sudah menimbulkan potensi perbedaan total yang cukup besar ketika dikalikan dengan jumlah siswa. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran adanya praktik pengelolaan keuangan yang tidak transparan di lingkungan sekolah negeri.
Ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Plt Kepala SMPN 6 Jombang, Ilham Ferdianto, mengaku tidak mengetahui secara pasti terkait mekanisme penentuan harga seragam maupun hasil kesepakatan rapat komite. “Saya tidak tahu sama sekali soal harga seragam pramuka dan batik itu. Semua urusan seragam ditangani oleh komite. Untuk nomor kontak komite pun saya tidak punya,” ujarnya saat ditemui di sekolah.
Pernyataan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa pihak sekolah tidak dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dana penjualan seragam siswa baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai batas kewenangan komite sekolah dalam mengatur kegiatan ekonomi di lingkungan pendidikan negeri.
Sejumlah pihak menilai, kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, agar segera melakukan klarifikasi dan audit terhadap mekanisme kerja sama antara komite sekolah dan pihak konveksi. “Sekolah negeri itu harus transparan. Kalau memang ada selisih harga, harus dijelaskan ke wali murid secara terbuka. Jangan sampai ada kesan mencari keuntungan dari kebutuhan siswa,” ungkap salah satu pemerhati pendidikan di Jombang.
Kasus ini juga menjadi cerminan pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik di dunia pendidikan. Pengelolaan dana non-APBD seperti pembelian seragam, atribut, dan perlengkapan siswa harus dilakukan secara terbuka, agar tidak menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan negeri.
Masyarakat berharap, persoalan ini segera mendapat perhatian dan penyelesaian yang jelas, sehingga ke depan tidak ada lagi praktik yang berpotensi merugikan wali murid. Sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan yang mencerminkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan, bukan sebaliknya menjadi sorotan karena dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana siswa. (Tim)